Mengalahlah
Kritis,
berilmu, berkarakter, tapi tak bertelinga. Lucu kedengarannya. Banyak telinga
yang telah dibuang sia-sia. Diganti mulut dan lidah tambahan, sehingga hanya
bisa berbicara tanpa pernah mendengarkan. Pertarungan ini takkalah sengit dari kejuaran
tennis meja tingkat dunia. Tak mau kalah walau harus bertukar temapt. Tetap
saja pada akhirnya rally pin pong pajang berakhirtak terkangp oleh satu lawan.
Tapi
sekarang kita tak bicara tennis meja, tapi bicara mendengrkan. Hal yang lucu
adalah ketika orang tua menukar mulut anak mereka dengan telinga. Dan mulut itu
mereka pakai untuk mulut ekstra, tentu untuk
menceramahi para buah hati tercinta.
Lama-lama
tak ada hak berpendapat lagi. Hanya ada hak berbicara bagi orang tua dan
kewajiban mendengar bagi sang anak. Semua kebijakan tertinggi ada pada pemimpin
siding di meja makan, yakni orang tua. Kasihan anak-anak yang tercabut hak
berbicaranya. Mulut mereka hilang. Berganti teliga yang bosan mendengar.
Kasihan
orangtua yang terus berbicara. Tapi tak pernah mengalah untuk mendengar suara
anaknya. Karena energinya terbuang sia-sia. Kata-kata menjadi benda mati saja.
Maka hadirlah tekanan bagi anak. Juga frekuensi tak enak bagi para tetangga
yang mendengar hardikan itu.
Dilain hal
ada juga anak yang tak mau mengalah dengan orang tua. Terus berdebat untuk hal
sepele. Apakah letak pisau, cra memotong mentimun, atau letak sandal yang tak
teraratur. Kali ini yang kasihan adalah orang tuanya. Karena anak yang
dibesarkan hanya jadi pahlawan yang selalu melawan semua perkataannya. Mungkin
sang anak lupa kalau ia hanya perlu mengalah satu kali, untuk mencipta senyum
dipipi ibu dan bapak. Mungkin anak pintar itu tak bisa mengingat sudah berapa
kali orang tuanya mengalah untuk dirinya?