Rabu, 08 Agustus 2012

Mengalahlah


Mengalahlah


Kritis, berilmu, berkarakter, tapi tak bertelinga. Lucu kedengarannya. Banyak telinga yang telah dibuang sia-sia. Diganti mulut dan lidah tambahan, sehingga hanya bisa berbicara tanpa pernah mendengarkan. Pertarungan ini takkalah sengit dari kejuaran tennis meja tingkat dunia. Tak mau kalah walau harus bertukar temapt. Tetap saja pada akhirnya rally pin pong pajang berakhirtak terkangp oleh satu lawan.

Tapi sekarang kita tak bicara tennis meja, tapi bicara mendengrkan. Hal yang lucu adalah ketika orang tua menukar mulut anak mereka dengan telinga. Dan mulut itu mereka pakai untuk mulut ekstra, tentu untuk  menceramahi para buah hati tercinta.

Lama-lama tak ada hak berpendapat lagi. Hanya ada hak berbicara bagi orang tua dan kewajiban mendengar bagi sang anak. Semua kebijakan tertinggi ada pada pemimpin siding di meja makan, yakni orang tua. Kasihan anak-anak yang tercabut hak berbicaranya. Mulut mereka hilang. Berganti teliga yang bosan mendengar.

Kasihan orangtua yang terus berbicara. Tapi tak pernah mengalah untuk mendengar suara anaknya. Karena energinya terbuang sia-sia. Kata-kata menjadi benda mati saja. Maka hadirlah tekanan bagi anak. Juga frekuensi tak enak bagi para tetangga yang mendengar hardikan itu.

Dilain hal ada juga anak yang tak mau mengalah dengan orang tua. Terus berdebat untuk hal sepele. Apakah letak pisau, cra memotong mentimun, atau letak sandal yang tak teraratur. Kali ini yang kasihan adalah orang tuanya. Karena anak yang dibesarkan hanya jadi pahlawan yang selalu melawan semua perkataannya. Mungkin sang anak lupa kalau ia hanya perlu mengalah satu kali, untuk mencipta senyum dipipi ibu dan bapak. Mungkin anak pintar itu tak bisa mengingat sudah berapa kali orang tuanya mengalah untuk dirinya?

Sabtu, 04 Agustus 2012


Masakan Ibu

Di restoran mana yang paling mewah? Dengan menu yang tak terlupan? Menu yang tetap enak diamakan walau bertabur tangis? Tangis yang selalu meminta-minta pulang ke restoran itu.

Restoran itu bernama “rumahku” serta daftar menunya bertitle “ Masakan Ibu”. Kapan terakhir mencobanya. Pasti akan berasa di ujung lidah. Bagaimana warnanya tentu akan menggoda. Aroma yang polos mengendus hidung. Masakan ibu adalah sesuatu yang paling akrab dengan lidah kita. Rasa-rasa yang akan membuat kita bernostalgia dengan masa-masa yang mungkin sangat membahagiakan.

Para  Ibu tentu akan mengerahkan kemampuan sebisanya untuk menghadirkan makanan bagi keluarga tercinta. Walau harus berpeluh ke pasar, mengeluarkan uang banyak, hingga membawa masakan orang lain ke atas meja(boleh-boleh saja).

Sebagai kebutuhan pokok makanan akan membuat ingatan pada orang yang memakannya. Beruntunglah bagi anak-anak yang mempunyai masakan asli ibu, dengan khasnya sendiri. Makanan biasa yang mengepul dimuka para bocah-bocah, oh manisnya. Masakan itu terekam oleh memori dan akan mengalahkan seluruh restoraan di dunia. Ketika dewasa kala berkumpul mungkin sang anak akan mencoba membuatnya jika sang ibu tiada. Coba ingat apakah masakan itu masih ada dibawah tudung saji kita?

Senanglah seorang ibu yang memasak, satu kuali dan habis. Walau rasanya tak selegit restoran bintang selangit. Tapi anaknya suka. Suaminya mengkritik dan memuji. Makan banyak, nasi habis tak terbuang. Senangnya bisa bikin melayang. Sekarang “ibu memasak” mulai berkurang setitik demi setitik. Padahal masakan adalah salah satu bentuk komunikasi pada semua anggota keluarga.

“Bagaimana asinnya?” Tanya ibu.
“Enak sekali. Tapi sayurnya terlalu masak bu!” komentar anak.
“Asinnya dikit lagi dong!”balas sang suami.
“Ah, pas kok. Nanti kolesterol  lho mas?”bela sang ibu.
“Emang garam bisa bikin kolesterol”Tanya si suami. Percakapan panjang itu berawal dari oseng sayur seorang ibu. Kapan massakan menghadirkan wacana dimeja anda?

Masakan ibu adalah ingatan yang mengikat banyak orang. Wlaua telah melintas benua. Walau ia telah tiada.

Bagi yang belum pernah dan takkan pernah bisa merasakannya. Maka buatlah masakan itu serasa hidangan beliau. Hidangkan pada orang yang anda cintai. Buatlah mereka tersenyum seperti beliau yang tak ada. Bahagialah dengan sosok ibu memasak. Karena tentu anda kan dirindukan anak dan suami anda.

Sekali lagi. Coba ingat apakah masakan itu masih ada dibawah tudung saji kita?

Mari menocaba tersenyum bahgiaaaaaaa....